RSS

Kamis, 06 September 2018

Apa akan seperti Dilan dan Milea?

"Terimakasih ya,  sudah ku baca semua. Senang,  bingung dan sedih",ucapan dan ungkapan yang kamu berikan saat memulangkan 3 novel trilogy Dilan 1990, Dilan 1991, Milea suara dari Dilan.

"begitulah, tidak bisa bersatu cuma karena keegoisan",tambahku.

"banyak orang yang sudah cinta cinta nya, sayang sayangnya, tidak bersatu karena agama, karena orangtua tidak merestui, karena beda prinsip, beda pemikiran, karena banyak perbedaan. Tapi kenapa Dilan dan Milea ini berpisah cuma karena satu sama lain tidak saling mengerti keadaan. Di saat Dilan membutuhkan Milea, Milea malah bertingkah mengeraskan hati. Saat, Dilan pergi Milea malah mencari cari",ntah kenapa nada mu terkesan sedikit kesal.

"Hahaha, polemik kehidupan. Milea hanya ingin Dilan berubah makanya Milea memilih mengambil sikap yang seperti itu, tanpa Milea tahu bahwa sebenarnya Dilan sudah berubah. Karena perubahan itu tidak harus dijelaskan bukan? Rasa sayang Milea yang terlalu besar membuat kekhawatirannya berlebihan",jelasku.

"tapi pada akhirnya, Milea menyesal telah bersikap demikan kepada Dilan? Lalu kenapa Dilan bersikap seolah olah tidak butuh Milea lagi? Harusnya ketika Milea datang, Dilan bisa mengerti. Dan pasti ending nya bakal bahagia", gerutumu seperti ungkapan penyesalan atas perilaku keduanya yang tak sesuai harapan.

Hal yang paling rentan dalam menjalani hubungan adalah kegegabahan dalam mengambil tindakan, keegoisan dalam memutuskan dan kekhawatiran karena terlalu sayang yang berujung pada malapetaka di sebuah hubungan.

Kamu menatapku lekat lekat seolah menaruh harap lebih, ku sadari siapa kamu dan siapa aku.

Aku hanya menyimpan rasa ini dalam diam dan ku biarkan semuanya menjadi misteri hingga berubah menjadi rindu yang menggunung dan tak terbendung saat kita tak bertemu. Rasanya ingin ku ungkapkan semua kepada rindu, bahwa aku sangat berterimakasih padanya yang telah menemaniku setiap malam dalam setiap lamunanku. Ingin pula aku bertanya, rindu..  Apakah kamu pernah berkunjung ke hatinya, apakah kau melihat ada aku disana?

Terbesit dalam benakku, akankah kisahku bahagia seperti milea dan dilan di dia adalah dilanku 1990, atau sedih yang penuh tanda tanya seperti dia adalah dilanku1991 atau pula menjadi penyesalan seperti milea suara dari dilan?

Ah tak perlu risau, bukankah tugas kita hanya berharap, berdoa dan berusaha selebihnya biarkan sang pencipta yang memainkan perannya.

Aku mencintaimu, rindu.
Seperti dilan mencintai milea.
Seperti milea merindukan dilan.
Dilan yang sudah terlanjur pergi.


Selasa, 10 Juli 2018

Luka dan Cita.

Ketika kata dan rasa bersautan,  timbulah ego yang bertautan.
Aku adalah aku,  dan kamu adalah kamu. Jadi jangan berharap duka yang telah menjadi luka akan ingat dengan cita dan cinta.

Karena hakikatnya seorang aku tidak pernah memintamu untuk datang,  apa akan jadi urusanku jika kamu ingin pulang?  Ntah pulang atau menghilang..

Sebab secarik pilu telah berbisik merdu. Menguatkan yang membiru untuk tetap tinggal jangan terburu mengganti yang baru.

Siap atau tidaknya bukan urusanmu, ini ranahku. Silahkan mainkan ranahmu. Menikmati boleh tapi jangan mengusik. Aku adalah aku, dan kamu nikmati lah hidanganmu. Jangan meminta yang tidak ada, dan jangan nikmati kalau kau tak mau.

Tidak mengerti? Silahkan bertanya, penasaran? Katakan. Bingung? Ungkapkan. Susah? Coba. Tidak sanggup? Mundur,  tapi jangan membuatku untuk pamit. Karena sebelum kamu memintaku aku akan langsung berlari keluar. Walau aku tahu yang datang bukan aku tapi kamu,  kalau kamu ingin menetap di rumahku tak masalah. Aku yang pergi meninggalkan rumahku.

Dalam diam. Kamu tidak akan bisa membaca mataku. Karena kamu belum kenal aku. Kalau kamu kenal mungkin kamu tidak akan pernah coba coba. Ada doa ayah yang selalu mengiringi. Hati hati. Ayah tak pernah menyakiti. Semoga lekas menjadi ayah. Agar mengerti dan berhenti.

Senin, 09 Juli 2018

Cerpen - Jangan harapkan pelangi jika kau takut hujan.

Sudah setengah jam aku menunggumu disini, iya di kafe yang semalam kau sebutkan akan menjadi tempat pertemuan kita yang sudah beratus kali. Sebenarnya aku tidak ingin bertemu denganmu, menoreh luka menggores asa. Tapi biarlah mencintaimu menjadi urusanku, selebihnya terserah padamu.

"Untukmu,  sang pecinta kopi.
Selamat siang, "
Tulis ku,  waktu menunggumu ku gunakan untuk menulis hal romantis yang selalu ku lalukan kepada nya.
Iya, dia yang sangat kau benci, yang sampai sampai membuatmu berkata dan berkomentar tentang kisahku
"sesuatu yang baik seharusnya dimulai dengan cara yang baik,  iya aku tahu kamu mulai dengan cara yang baik karena kamu gak tahu apa apa tapi dia? Dia tahu ini gak baik tapi tetep dimulai kan? Harusnya dia memulainya menunggu waktu yang baik bukan sekarang. Aku gak pernah doa yang jelek buat kamu, kok kamu bisa sepatah ini ya? ".

Waktu demi waktu terbuang. Namun kamu belum juga datang,  ku lanjutkan tulisan.
"yang harus kamu tau,

Aku gak akan pernah mau jadi gula di kopimu..
Karna gula cuma bisa larut.
Dan nyatanya,  kopi dicari karena terselip sisi pahit..
Dan aku gak mau cuma jadi pemanis".

Kurang lebih begitu. Sebenarnya aku sih gak tau dia itu pencinta kopi atau bukan, namun setelah ku baca berulang ulang seharusnya ada kalimat yang aku tambahkan atau bahkan ku ganti, mungkin seperti ini

"..............................Dan aku gak mau cuma jadi pemanis.
Untukmu, pencinta kopi.
Katakan jika ingin bertamu, jadi aku tidak bingung saat kau datang.
Harus memberimu kopi atau hati".

Memang lebih pas jika ditambah bukan diganti.

Satu jam berlalu,  kehadiranmu tak juga tiba. Aku hanya bisa membolak balikkan handphone sesekali ku lihat notifikasi instagram,  Whatsapp juga tidak ada kabar darimu.
Kamu bilang ada mobil yang membuat jalan macet, sudah sering ini terjadi. Tapi akupun sudah sering menanti.

Kamu datang, dengan keadaan basah kuyup. Sampai sampai aku mengira kau jalan kaki. Memang parkirannya cukup jauh, tapi kok bisa? Apa kamu gak sakit nantinya?
Aku bertanya,"Lah kamu kenapa gak telfon aku? Biar aku bawain payung? Aku udah siapin payung kok buat kamu?".
Dan kamu menjawab,"apa ada pertolongan yang lebih manis dari persiapan yang tanpa diminta?"
Ah, kamu selalu membuat wajahku merah.

Dan kamu berkata,"hujan pasti ngomong gini. Kamu gak suka aku?  Gak apa apa, kamu boleh berteduh kok. Aku gak akan pernah maksa untuk kamu basah karna aku".

Dengan cepat aku menjawab kesal.
"Jika kamu memang hujan,
Dan aku tidak suka hujan,
Kenapa kamu menyuruhku berteduh?"

Kamu pun langsung menjawab,
"Jika aku yang hujan,
dan kamu suka. Kamu boleh kok berteduh, jika tidak ingin basah

Karna suka belum tentu siap berkorban."

Aku langsung menjawab,
"suka itu kesenangan,
berteduh itu pilihan

Kadang kita boleh jadi memilih yang bukan kesenangan agar atau artinya kekecewaan"

Kamu langsung menjawab,"salah. Kali ini kamu salah dan harus ku perbaiki pikiranmu.
Yang benar begini :
kadang boleh jadi kita memilih yang bukan kesenangan atau tidak memilih yang padahal kesenangan hanya karna kita terlalu mengharapkan kebahagiaan dan takut akan kekecewaan."

Dan kamu kembali melanjutkan, "itu lebih tepatnya. Jangan kamu berlarut, hati itu bukan gula yang harus dilarutkan dalam sebuah kopi. Hidangkan kopinya jangan hatinya." matamu sambil melirik tulisanku disecarik kertas yang tepat ada dibawah handphone dan kunci mobilku.

"Kamu kangen? Atau kamu..."
Langsung ku patahkan,"sudahlah diam, aku hampir 2 jam menunggumu, ku buat saja itu".

Kamu menjawab dengan ledekan, "membuat tulisan tentang pencinta kopi? Tak sudah sudah masa lalumu.. Wajar 5 tahun hahaha tapi kok 5 tahun hanya bertamu, sampai kopi yang disajikan habis dan malah meminta hati.
Eh mana hatimu?
Sudah dikembalikan belum?
Kalo belum,
Sini biar aku yang ambil darinya".

Kata kosong yang tidak manis tapi selalu membuat senyum simpul diwajahku, selalu ada pelangi setelah hujan. Tapi jangan berharap pelangi akan datang kalau kamu tidak berani jalan ditengah hujan. Jemputlah kejarlah pelangimu, jangan peduli basahnya dirimu. Karena ketidaksenanganmu akan hujan belum tentu menggagalkanmu bertemu pelangi,  sebaliknya kesenanganmu akan hujan belum tentu membuatmu dapat melihat pelangi.

Apakah ada yang lebih indah dari mengikhlaskan kenangan?

Aku tergopoh gopoh pulang dan langsung masuk ke dalam rumah, jelas saja kamu memberi kabar akan datang disaat aku sudah lama tak menghiraukan rumah. Saat ku pandangi sekeliling, aku terdiam dan berfikir dari mana aku harus mulai. Ini terlalu berantakan untuk diberesi, haduh aku tak habis pikir kenapa kamu sangat mendadak sih? Ruang tamu saja tidak jelas bentuknya, apa pantas aku hanya membuka pintu gerbang dan kita ngobrol di luar? Teras pun tak layak untuk jadi tempat singgah.

Mungkin yang harus ku persiapkan terasnya dulu. Baru aku rapihkan ruang tamu hingga ruangan lainnya. Terlalu banyak daun daun yang ikhlas dibuang oleh pohon eh atau pohon ya yang ikhlas ditinggalkan daun yang gugur itu?  Ah,  itu cuma pandangan saja. Terserah kamu mau liat dari mana. Pelan pelan ku mulai, walau sesekali enggan melanjutkan karna terlalu banyak kenangan disini.

Keyakinan demi keyakinan timbul saat aku menghidupkan lilin kala malam,  sebab lampu sudah lama mati dan belum ku ganti. Lilin saja ikhlas toh merelakan dirinya demi menerangi aku dalam gelap. Kenapa aku harus tetap terjebak dalam gelap ini? Ya, harus ku selesaikan. Itu keyakinan ku.

Mulai ku tata satu persatu, tiap barang ku susun pada tempat tempatnya. Pada pos posnya. Mungkin sudah waktunya,  sudah saatnya ku tata rumahku,  ya rumahku adalah hatiku,  hati yang kacau berantakan ini. Agar tamu tak segan untuk masuk. Aku tahu, jika ku biarkan hati ini masih berantakan dengan kenangan tentangmu. Orang baru pun segan untuk bertamu.

Sudah lah lupakan, aku yang mematahkan hatiku sendiri. Jangan risau, aku bisa mengatasinya. Hanya saja jangan hadir dulu ya. Aku takut aku rindu. Biarkan aku menikmati kenyamanan dengan yang baru. Disitulah aku akan tahu seberapa berartikah kenangan kenangan yang berantakan dulu, setelah aku menata hati.

Apakah ada yang lebih indah dari mengikhlaskan kenangan?

Kamis, 28 Juni 2018

Jangan bertingkah seperti Tuhan.

Senja datang menjemput, tak memberi kabar sebelumnya yang membuatku tak siap untuk berangkat. Angin sore itu hanya mampu menyapa tanpa memberi jawaban haruskah aku ikuti senja atau harus menunggu pagi. Dengan ragu ku pastikan aku tidak ikut kali ini. Ku biarkan diri ini ditinggal sendiri hingga sepi menyelimuti. Aku tak bisa memaksa untuknya tetap disini bersama. Salah? Ini sebuah keputusan pilihannya mau atau tidak bukan benar atau salah. Jangan bertingkah seperti Tuhan yang bisa memberikan penilaian semaunya. Marah?  Kenapa?  Apa aku salah? Apa cuma kamu yang boleh merasa bahagia?  Egois. 

Saat pagi datang, aku malah mengingat keelokan senja kemarin.  Disaat semuanya terlambat aku malah berharap senja masih mau menjemputku,  kenapa? Kamu bilang aku plin plan? Aku ini cuma belum siap. Coba kamu bayangkan saat minum kopi yang belum siap saji. Apa yang kamu rasakan?  Mau?  Ah,  kalo aku sih tidak.  Sudahlah ini menjadi resiko ku.  Pilihanku. Biarlah senja ngambek dan marah padaku disaat pagipun tak ku hiraukan. Aku cuma mau kamu tidak bertingkah seperti Tuhan menilai hasil dari yang ku lakukan. 

Penyesalan demi penyesalan tiba, ada selang waktu berfikir dan berkata kenapa aku tak mengabiskan malamku untuk membulatkan pilihan? Kenapa aku hanya mampu berdiam dengan sepi seiring aku melihat senja pergi berganti malam.  Kenapa aku tidak menyiapkan diri untuk pagi yang sudah pasti akan menjemput.  Bodohnya aku.  

Saat aku melangkah siang itu,  aku bertemu dengan dia. Dia yang telah mematahkan hatiku. Teringat jelas,  perhatiannya yang semua seolah masih nyaman di pikiranku.  Dia disana bersama dengan orang barunya.  Berambut hitam dengan kucir kuda, memakai baju ungu kardigan hitam dengan celana jeans hitam selutut, berjalan hampir mendekatiku.  Langsung ku putar arah menolak untuk bertemu.  Ya memang aku pengecut, tapi rasa ini lebih pedih dari sebuah kisah perselingkuhan yang dilakukannya sebelumnya. Dia bukan senja dan dia bukan pagi. Dia masih ku rahasiakan. 

Tolong untuk kali ini,  kamu jangan berkata apapun. Aku selalu menolak dan marah saat kamu bertingkah seperti Tuhan karena aku tidak mau kamu mengamuk saat kamu tau hatiku telah dipatahkan oleh dia. Dan aku tak mau kamu bertingkah seperti Tuhan dengan menghujat perlakuanny kepadaku.  Mungkin aku belum pantas untuknya atau dia yang tidak pantas untukku,  aku cuma masih menyembuhkan hati.  Mungkin ini terlalu lama,  sampai sampai saat senja dan pagi datang pun aku bingung harus apa dan bagaimana.  Aku hanya menjaga hati ini agar tidak dipatahkan lagi seperti yang telah dilakukan dia Iya,  dia yang masih ku rahasiakan.

Jumat, 18 Mei 2018

Dariku.

Kekacauan yang terjadi sekira 6 bulan yang lalu berujung bencana. Sudah teramal rumit-nya dalam ceritaku kemarin. Ternyata kerumitan itu berbuah kekacauan yang tak bertuan. Aku yang terlalu asyik menikmati kenyamanan bersamamu dan merasa kebahagiaan itu akan tiba malah yang terjadi sebaliknya, semakin aku berlari ke arahmu perlahan namun aku menancapkan pisau ke dadamu dan dadanya. Mundur pun tak bisa maju pun aku sudah terlalu lancang.

Belumlah aku siap kehilangan kamu saat semuanya terbongkar, kepedihan itu terlihat jelas dari matanya. Namun, tak ada sedikitpun penyesalan dari wajahmu. Aku yang berusaha menenangkan diri dan masih berusaha bertanya pada diriku sendiri apa yang harus kulakukan saat ini. Apa ini benar benar rasa sayang yang ku berikan untukmu atau hanya sebuah kenyamanan karena kamu selalu ada untukku, dan dia? Apa ini sebuah rasa cinta sehingga ku sulit melepaskannya untuk mengganti semuanya denganmu?

Seberapa panjang kisah itu seberapa rumit kejadian itu, hilang sudah hanya dengan satu isu yang ku berikan bahwa aku akan bertunangan. Mungkin itu jalan terbaik untuk merubahmu, agar kamu tidak lagi membuatku berlari terus ke arahmu. Aku salah, maafkan aku. Aku hanya tidak ingin pisau ini semakin dalam menusuk mu dan menusuk dia. Dengan cara seperti ini kamu akan mundur dan mengobati lukamu sendiri. Maafkan aku, sesungguhnya tidak tega ku ungkap semuanya. Tapi hanya ini yang bisa ku lakukan. Sungguh ku sayang, karena aku benar benar sayang maka aku lebih memilih melihatmu bahagia daripada membiarkanmu terluka dan kecewa.

Waktu terus berlalu dan kita semakin jauh, aku kembali dekat dengannya seperti aku baru memulai hal yang baru dengannya. Aku sadar aku sangat mencintainya. Tapi yang ku tahu pasti dulu dia sangat mencintai ku. Iya dulu, saat dia masih menjadi milikku. Dan sekarang bukan lagi. Ini ku lakukan bukan untuk mu. Ini ku lakukan sebabku galau akan perasaanku. Semakin aku dekat dengannya semakin aku ragu. Semakin aku dekat denganmu semakin aku ragu.

Saat aku memutuskan untuk meninggalkan dia, semua karena emosiku kepadamu. Namun, terlihat jelas bahwa kenyamananmu sudah hilang dalam waktu 2 bulan saja. Aku tidak marah ini salahku. Dan ini resikoku. Aku memilih sendiri karena kesalahanku. Aku hanya ingin memperbaiki nya untuk masa depanku kelak. Aku hanya meminta diberi jalan agar aku mendapat jodoh dan imam yang bisa membimbingku di dunia dan akhirat. Terlalu berat? Maaf ini cita citaku saja. Dan harapan ku, tidak masalah. Hanya saja butuh waktu.


Aku tidak lagi menitip hati kepada siapapun itu, aku tak ingin menyakiti dan tak ingin disakiti cukup tangisku ku berikan untuk memikirkan mu dan memikirkan nya. Cukup air mataku habis. Aku minta maaf untuk semuanya, mungkin waktu itu sudah terlambat saat aku ingin datang mengetuk pintu, ternyata didalamnya sudah ada orang lain. Untuk dia aku juga minta maaf sudah tiba tiba pergi dengan pamit yang menyakitkan tapi aku yakin kalau kita berjodoh hatiku akan kembali berhenti di kamu. Dan saat ini aku katakan hatiku benar benar berhenti di kamu (dia) dan kamu tidak berubah meski ku tahu keputusanku menyakitimu.

Untukmu lagi, ku minta kamu harus bahagia dengan yang baru semoga berhasil. Hehe

Untuk dia, aku sangat mencintaimu. Ku tunggu keseriusanmu. Jika kamu berniat mundur tak apa ini salahku, hehe

Dariku yang masih sama dan masih dini.
 
Copyright mmshabrinaa's 2009. Powered by Blogger.Designed by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul .