Aku tergopoh gopoh pulang dan langsung masuk ke dalam rumah, jelas saja kamu memberi kabar akan datang disaat aku sudah lama tak menghiraukan rumah. Saat ku pandangi sekeliling, aku terdiam dan berfikir dari mana aku harus mulai. Ini terlalu berantakan untuk diberesi, haduh aku tak habis pikir kenapa kamu sangat mendadak sih? Ruang tamu saja tidak jelas bentuknya, apa pantas aku hanya membuka pintu gerbang dan kita ngobrol di luar? Teras pun tak layak untuk jadi tempat singgah.
Mungkin yang harus ku persiapkan terasnya dulu. Baru aku rapihkan ruang tamu hingga ruangan lainnya. Terlalu banyak daun daun yang ikhlas dibuang oleh pohon eh atau pohon ya yang ikhlas ditinggalkan daun yang gugur itu? Ah, itu cuma pandangan saja. Terserah kamu mau liat dari mana. Pelan pelan ku mulai, walau sesekali enggan melanjutkan karna terlalu banyak kenangan disini.
Keyakinan demi keyakinan timbul saat aku menghidupkan lilin kala malam, sebab lampu sudah lama mati dan belum ku ganti. Lilin saja ikhlas toh merelakan dirinya demi menerangi aku dalam gelap. Kenapa aku harus tetap terjebak dalam gelap ini? Ya, harus ku selesaikan. Itu keyakinan ku.
Mulai ku tata satu persatu, tiap barang ku susun pada tempat tempatnya. Pada pos posnya. Mungkin sudah waktunya, sudah saatnya ku tata rumahku, ya rumahku adalah hatiku, hati yang kacau berantakan ini. Agar tamu tak segan untuk masuk. Aku tahu, jika ku biarkan hati ini masih berantakan dengan kenangan tentangmu. Orang baru pun segan untuk bertamu.
Sudah lah lupakan, aku yang mematahkan hatiku sendiri. Jangan risau, aku bisa mengatasinya. Hanya saja jangan hadir dulu ya. Aku takut aku rindu. Biarkan aku menikmati kenyamanan dengan yang baru. Disitulah aku akan tahu seberapa berartikah kenangan kenangan yang berantakan dulu, setelah aku menata hati.
Apakah ada yang lebih indah dari mengikhlaskan kenangan?
Senin, 09 Juli 2018
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar