Senja datang menjemput, tak memberi kabar sebelumnya yang membuatku tak siap untuk berangkat. Angin sore itu hanya mampu menyapa tanpa memberi jawaban haruskah aku ikuti senja atau harus menunggu pagi. Dengan ragu ku pastikan aku tidak ikut kali ini. Ku biarkan diri ini ditinggal sendiri hingga sepi menyelimuti. Aku tak bisa memaksa untuknya tetap disini bersama. Salah? Ini sebuah keputusan pilihannya mau atau tidak bukan benar atau salah. Jangan bertingkah seperti Tuhan yang bisa memberikan penilaian semaunya. Marah? Kenapa? Apa aku salah? Apa cuma kamu yang boleh merasa bahagia? Egois.
Saat pagi datang, aku malah mengingat keelokan senja kemarin. Disaat semuanya terlambat aku malah berharap senja masih mau menjemputku, kenapa? Kamu bilang aku plin plan? Aku ini cuma belum siap. Coba kamu bayangkan saat minum kopi yang belum siap saji. Apa yang kamu rasakan? Mau? Ah, kalo aku sih tidak. Sudahlah ini menjadi resiko ku. Pilihanku. Biarlah senja ngambek dan marah padaku disaat pagipun tak ku hiraukan. Aku cuma mau kamu tidak bertingkah seperti Tuhan menilai hasil dari yang ku lakukan.
Penyesalan demi penyesalan tiba, ada selang waktu berfikir dan berkata kenapa aku tak mengabiskan malamku untuk membulatkan pilihan? Kenapa aku hanya mampu berdiam dengan sepi seiring aku melihat senja pergi berganti malam. Kenapa aku tidak menyiapkan diri untuk pagi yang sudah pasti akan menjemput. Bodohnya aku.
Saat aku melangkah siang itu, aku bertemu dengan dia. Dia yang telah mematahkan hatiku. Teringat jelas, perhatiannya yang semua seolah masih nyaman di pikiranku. Dia disana bersama dengan orang barunya. Berambut hitam dengan kucir kuda, memakai baju ungu kardigan hitam dengan celana jeans hitam selutut, berjalan hampir mendekatiku. Langsung ku putar arah menolak untuk bertemu. Ya memang aku pengecut, tapi rasa ini lebih pedih dari sebuah kisah perselingkuhan yang dilakukannya sebelumnya. Dia bukan senja dan dia bukan pagi. Dia masih ku rahasiakan.
Tolong untuk kali ini, kamu jangan berkata apapun. Aku selalu menolak dan marah saat kamu bertingkah seperti Tuhan karena aku tidak mau kamu mengamuk saat kamu tau hatiku telah dipatahkan oleh dia. Dan aku tak mau kamu bertingkah seperti Tuhan dengan menghujat perlakuanny kepadaku. Mungkin aku belum pantas untuknya atau dia yang tidak pantas untukku, aku cuma masih menyembuhkan hati. Mungkin ini terlalu lama, sampai sampai saat senja dan pagi datang pun aku bingung harus apa dan bagaimana. Aku hanya menjaga hati ini agar tidak dipatahkan lagi seperti yang telah dilakukan dia Iya, dia yang masih ku rahasiakan.